Gnome 3 telah rilis, tapi rupanya, feedback yang bergaung di internet tidak sebaik yang mungkin diharapkan banyak orang. Begitu banyak user yang tidak puas dengan “inovasi” Gnome 3 karena dinilai menghilangkan unsur usability atau kegunafungsian, seperti menghilangnya gnome panel, gnome menu yang cukup menyulitkan untuk mengakses aplikasi dan proses perpindahan jendela. Ini persoalan mendasar, dan secara pribadi, saya sepakat. Bahwa developer Gnome melupakan unsur paling fundamental dari desain desktop, yaitu usability atau efektifitas atau kegunafungsian.
Lalu di sisi lain, Ubuntu membuat terobosan dengan merancang satu desktop baru, yang walau berbasis Gnome sebagai back-end, menghadirkan kesan ingin membuat satu desktop independen yang diberi nama Unity. Secara pribadi, sekali lagi, saya tidak nyaman dengan Unity karena hampir setali tiga uang dengan Gnome 3 yang mengenyahkan Gnome menu yang sangat amat berguna untuk mengakses daftar aplikasi yang terinstal di sistem Linux kita.
Lalu beredarlah isu bahwa ada developer independen yang membuat fork dari Gnome 2 yang diberi nama EXDE, yang ternyata layu sebelum berkembang karena sebab yang tidak diketahui. Isu terakhir, saya mendapati seorang user Archlinux telah berhasil mendevelop sebuah fork dari Gnome 2 yang diberi nama Mate. Annuncement dari isu tersebut ada di forum berikut https://bbs.archlinux.org/viewtopic.php?id=121162
Intinya, secara umum bisa saya simpulkan, bahwa begitu banyak user Linux yang kecewa dengan “inovasi” Gnome 3 yang dinilai hanya semata-mata memburu “Perubahan Revolusioner” tetapi melupakan satu hal paling mendasar yaitu usability. Dan jadilah banyak gunjang-gunjing yang membahas topik, alangkah indahnya jika ada developer yang sudi membuat fork dari Gnome 2 seperti yang dilakukan oleh Pearson yang membuat fork dari KDE 3.5 (yang diberi nama Trinity Desktop).
Secara pribadi, saya sedikit apatis dengan isu-isu tersebut. Bolehlah kita menghibur diri dengan memakai Gnome 2 yang paling akhir, tapi suka atau tidak, pada waktunya, kelak, Gnome 2 akan ditinggalkan sepenuhnya oleh developer Linux
Jadi, alih-alih menghibur diri dengan cara seperti itu, saya lebih memilih mencari desktop alternatif, dan saya menemukan juga. Dan jawabannya adalah : LXDE! Desktop ini sangat ringan dan sangat customable, dan yang terpenting : sederhana, usable dan lengkap.
Ada beberapa distribusi yang secara default mengusung LXDE sebagai desktop, antara lain Lubuntu, KNOPPIX dan Porteus. Tetapi, akhirnya saya menemukan pilihan yang jauh lebih baik, yaitu Linux Mint LXDE. Setelah saya mendownload, mencoba dan lalu menginstalasi, secara keseluruhan Linux Mint LXDE sangatlah memuaskan. Berikut ini catatan plus yang bisa saya catat :
1. Cepat. Cepat dan cepat. Sungguh ini nilai plus paling mengesankan dari LXDE.
2. Integrasi Gnome Bluetooth. Ini adalah inovasi yang sangat berguna mengingat by default, LXDE belum memiliki manajemen Bluetooth grafikal / GUI.
3. Kompatibel dengan repositori Ubuntu 11.04 sehingga kita bisa menambah tool, driver atau aplikasi dari lumbung aplikasi Ubuntu 11.04.
Begitulah secara keseluruhan penilaian saya mengenai desktop LXDE yang diusung oleh Linux Mint 11 LXDE. Untuk aplikasi preinstalled, semuanya standar seperti yang ada di Ubuntu 11.04, kecuali tambahan menu Dropbox installer, sebuah layanan online storage gratis yang cukup terkenal.
Catatan : Saat tulisan ini dibuat, baru ada rilis Linux Mint 11 LXDE RC2, namun secara keseluruhan, walau baru Release Candidate, sudah stabil dan fungsional untuk digunakan. Link release notesnya ada disini. Untuk rilis versi final silahkan merujuk ke website Linux Mint.
Selamat mencoba :)
Comments
LXDE sepertinya bisa menjadi pilihan, terima kasih atas ulasannya yang menarik.