Beberapa waktu yang lalu, saya telah memposting tentang sedikit pengalaman oprek ubuntu, mengenai cara menset vga nvidia, dll. Kali ini saya akan mencoba membahas hal-hal sederhana dalam dunia linux, namun pada awal saya menggunakan ubuntu, saya menemui banyak sekali kebingungan.
Pertama adalah : make. Di banyak referensi linux, dibahas mengenai cara instalasi program linux dengan metode kompilasi, yang didapat dari installer source code. Proses paling penting setelah mengestrak file tar.gz dan ./configure, adalah proses make, lalu make install. Namun apa yang terjadi ketika saya mencoba mempraktekannya di ubuntu? Saat saya ketik # make, ternyata yang keluar command not found. Waduh, kenapa ini? Saya pun terus berpikir, kenapa keluar command not found? Akhirnya saya hanya mengira-ira namun tidak percaya, karena saya piker perintah make adalah perintah dasar yang harus ada di setiap distribusi linux, tapi ini kok? Usut-punya usut ternyata memang program make belum built-in terinstall di ubuntu, saya pun heran bukan main, tapi tak apalah. Akhirnya saya pun mendownload program make di packages.ubuntu.com, dan setelah saya install, akhirnya saya bisa menggunakan make. Tambahan lagi, ternyata selain make, program mendasar lain yang belum ada adalah gcc. Hal itu terbukti ketika saya mencoba mengikuti trik di majalah yang mengharuskan menggunakan gcc, lagi-lagi di terminal muncul command not found, & memang kita harus menginstal gcc secara terpisah. Namun terlepas dari itu semua, saya tetap merasa sangat nyaman bekerja dengan ubuntu!
Apakah Installer .deb (dpkg) masih begitu kurang?
Ketika saya ingin mencicipi beberapa program baru, dan beberapa update, saya agak kebingungan, ternyata banyak penyedia program yang tidak menyedian paket dpkg (.deb) yang digunakan oleh debian dan ubuntu sebagai keturuannya. Contoh nyata adalah ketika saya pergi ke situs adobe untuk mencari flashplayer buat linux, ternyata yang tersedia hanyalah file source code (tar.gz) dan binary .rpm. Yah, apa boleh buat, akhirnya saya pun terpaksa menggunakan source code untuk menginstal flashplayer. Dalam banyak kejadian lain, saya pun terpaksa menggunakan file binary rpm kemudian saya convert ke dpkg menggunakan alien.
Alien, sang penyelamat!
Ketika saya bingung tidak menemukan binary debian untuk saya instalasi ke ubuntu, ada sebuah aplikasi penyelamat bangsa, yaitu alien. Program ini mempunyai kemampuan yang sangat luar biasa yaitu mengconvert format installer binary rpm, tgz, ke deb dan sebaliknya. Namun, walau begitu, walaupun udah berhasil di convert, banyak juga yang ogah untuk diinstal, saya sendiri belum begitu paham masalahnya. Pesan kesalahan yang sering muncul adalah bahwa proses dihentikan, dikarenakan ada file sejenis versi lama yang akan ditimpa, namun gagal. Saya sendiri sudah mencoba menghapus file yang dimaksud namun tetap saja ga berhasil. Walau demikian, banyak sekali kegunaan alien yang sudah saya rasakan, terutama untuk mengkonversi paket-paket independent yang tidak membutuhkan dependensi yang rumit. Salut buat pencipta alien!
Distro hopping is a fun adventure. It's a pure joy you can only find in GNU/Linux world. It's a nature you want to escape from what I call 'comfort ecosystem'. You need to play, trying something new even for a few little differences. For a long time I've been using Ubuntu family as my daily driver. The main reason is probably just same as any other Ubuntu user: it's reliable. You can't go wrong with Ubuntu. It works almost in any device, even for the newest one. It is the ultimate Linux distro you can rely on. However, sometimes, you will feel bored. The temptation to flirt with other new distro is unbearable. There are a lot of hot new Linux distros waiting to try. A Real Hidden Gem I've known this distro for a quite long time. At first, it offered Trinity Desktop as the main desktop, which brings me the sweet memories about KDE3. It is simply fast, stable, almost without any issue, and it is based on Debian. I install it on my old machine and I love t
Comments