Selama ini, kita mungkin begitu "dienakan" dengan "kenyamanan-kenyamanan" yang disediakan oleh banyaknya software-software propietary "gratisan". Selama ini juga kita dengan bebas dan leluasa menggunakan dan memanfaatkan software propietary "gratis" tersebut, untuk semua kegiatan kita. Semua itu telah membuat kita merasa sangat bergantung pada software propietary yang kita dapatkan dengan gratis itu. Kita sangat terbiasa dengan sosftware-software itu, dan seolah-olah tidak akan mampu bekerja (dengan baik) tanpa software-software propietary tercinta.
Namun, jaman telah berubah, tren pun berubah. Mungkin, pada skala kecil ( alias home user ), penggunaan software propietary "free" tidak akan menimbulkan masalah, paling tidak untuk jangka waktu saat ini, di Indoenesia. Pada skala yang lebih besar pun ( instansi swasta maupun pemerintah ), kalau mau nekat dan "tidak perduli", untuk jangka waktu pendek, penggunaan 'free propietary software' juga aman-aman saja. Tentu saja dengan kontrol yang "penuh" dan selalu siap siaga.
Sadar atau tidak, menurut data yang ada, Indonesia berada dalam peringkat yang membanggakan dalam jumlah penggunaan software gratis ( pengkasaran dari istilah bajakan atau ilegal ), yaitu peringkat 2 dunia, wow! Mau tidak mau, para penyedia software propietary harus menyelamatkan aset mereka di Indoesia, sebagai pasar yang sangat besar. Sweeping pun dilakukan. Beberapa waktu yang lalu, isu mengenai sweeping Microsoft dari instansi satu ke instansi lain, dan dari kota satu ke kota lain, tersebar begitu gencar. Warnet, rental komputer, dan juga service-service komputer "rumah tangga" keteteran. Bagai tikus yang di awasi kucing, mereka kalang kabut kesana-kemari, dan dengan serentak tidak berani membuka usaha "mandiri"nya untuk beberapa waktu, sebagian ada yang nekat, walau dengan jalur "underground". Begitu pun dengan instansi pemerintah, yang pada akhirnya aman-aman saja (karena dibantu oleh bakat luar biasa instansi pemerintah dalam "negosiasi"). Entah benar-benar terjadi atau tidak (sebagian rental ada yang tertangkap), kejadian itu sungguh menggelitik dan menggugah perasaan kita semua. Ada apa dengan Indonesia, masalah komputerisasi, dan HaKi?
Selidik punya selidik, ternyata kesadaran akan HaKi di Indonesia sangat rendah. Bahkan dalam konteks riil, ternyata begitu banyak pengguna komputer di negeri ini, yang sama sekali tidak tahu menahu tentang software propietary, HaKi, dan pelanggaran-pelanggarannya. Bagi mereka, apa yang ada adalah legal dan tidak ada masalah sedikit pun. Yang sangat menggemaskan, ketidaktahuan ini pun tidak hanya ada pada masyarakat umum. Beratus-ratus intansi (atau beribu, saya tidak tahu) pemerintah, yang tidak tahu (bukan tidak sadar), mengenai apa itu sistem propietary, HaKi dan pelanggaran HaKi. Bagi mereka, sistem komputer (windows --red) yang selama in di kenal, adalah 100 % legal, dan tak ada masalah. Boro-boro tahu tentang OSS, banyak pengguna komputer Indonesia yang hanya mengerti bahwa software komputer hanya windows itulah. Selain kenyataan hebat itu, pengguna komputer yang paham dan sadar, bukan tidak bermaksud atau ingin memakai software "gratisan", tapi memang faktor ekonomi yang tidak memungkinkan. Daya beli masyarakat kita yang sangat rendah, adalah sangat tidak mungkin untuk menjangkau sistem operasi propietary legal dan resmi, dimana kita tahu, harga sebuah lisensi sistem propietary adalah setinggi langit.
Jadi, permasalahan HaKi di Indonesia adalah sangat complicated, dan mencari jalan keluar adalah tidak mudah. Jika ada yang berangan-angan untuk membasmi habis pembajakan sistem propietary, maka berani saya katakan, itu adalah angan-angan kosong dan tidak mungkin terjadi. Solusi yang mesti kita pikirkan adalah : apakah ada sistem yang bebas untuk digunakan dalam bidang tehnologi informasi, yang bisa digunakan dengan legal dan resmi, yang berguna bagi masyarakat kita? Dan jawabannya adalah ada, bahkan semenjak lebih dari 17 tahun silam. Gerakan open source dan free software foundation, yang dipelopori Richard Matthew Stallman, telah ada sejak lama, dengan sistem Gnu-nya. Selain itu, momment puncak gerakan open source, dengan lahirnya sistem operasi Linux yang ajaib (yang dibidani oleh Linus Torvalds), telah membuka kesempatan seluas-luasnya untuk pemanfaatan tehnologi informasi yang bebas guna, dan bebas bayar lisensi.
Setelah sekian lama, gerakan open source dengan Linux-nya, berkembang begitu pesat. Dengan dibangun oleh jutaan programmer di seluruh dunia dengan ikhlas dan sukarela, sistem open source mengalami perkembangan yang luar biasa. Namun, bagaimana dengan implementasinya? Terutama di Indonesia? Lambat! itu jawaban yang pasti, namun tidak perlu kita salahkan siapapun. Linux dan HaKi, bagaim keping mata uang, adalah hal yang tak terpisahkan. Di mana kita bicara HaKi dalam bidang TI, kita akan dibawa ke Linux, karena hanya Linux-lah(dengan keluargamya), sistem operasi yang bebas untuk digunakan, atau dengan kata lain, kita tak perlu khawatir untuk tersandung masalah Haki dalam penggunaannya. Lalu, bagaimana dengan nasib Indonesia? Kita tak perlu berkecil hati atau menyalahkan keadaan. Yang perlu kita lakukan sekarang, adalah bagaimana menyebarkan sistem open source, dan membiasakan penggunaan dan pemanfaatnya, walau kita tahu mengubah kebiasaan sangat sulit. Oleh karena itu, sosialisasi penggunaan OSS, seyogyanya (dan seharusnya) harus dimulai dari tingkat yang sangat mendasar. Pelajar, anak-anak dan masyarakat umum lain, harus dibiasakan untuk memanfaatkan sistem operasi open source, yang merupakan "satu-satunya" solusi bagi permasalahan TI dan HaKi di Indonesia.
Jadi? Siapkah anda (dan saya sendiri) untuk menjadi pasukan di antara barisan gerakan open source, untuk kemaslahatan dan kesejahteraan umat manusia?!
Salam Linux!
Namun, jaman telah berubah, tren pun berubah. Mungkin, pada skala kecil ( alias home user ), penggunaan software propietary "free" tidak akan menimbulkan masalah, paling tidak untuk jangka waktu saat ini, di Indoenesia. Pada skala yang lebih besar pun ( instansi swasta maupun pemerintah ), kalau mau nekat dan "tidak perduli", untuk jangka waktu pendek, penggunaan 'free propietary software' juga aman-aman saja. Tentu saja dengan kontrol yang "penuh" dan selalu siap siaga.
Sadar atau tidak, menurut data yang ada, Indonesia berada dalam peringkat yang membanggakan dalam jumlah penggunaan software gratis ( pengkasaran dari istilah bajakan atau ilegal ), yaitu peringkat 2 dunia, wow! Mau tidak mau, para penyedia software propietary harus menyelamatkan aset mereka di Indoesia, sebagai pasar yang sangat besar. Sweeping pun dilakukan. Beberapa waktu yang lalu, isu mengenai sweeping Microsoft dari instansi satu ke instansi lain, dan dari kota satu ke kota lain, tersebar begitu gencar. Warnet, rental komputer, dan juga service-service komputer "rumah tangga" keteteran. Bagai tikus yang di awasi kucing, mereka kalang kabut kesana-kemari, dan dengan serentak tidak berani membuka usaha "mandiri"nya untuk beberapa waktu, sebagian ada yang nekat, walau dengan jalur "underground". Begitu pun dengan instansi pemerintah, yang pada akhirnya aman-aman saja (karena dibantu oleh bakat luar biasa instansi pemerintah dalam "negosiasi"). Entah benar-benar terjadi atau tidak (sebagian rental ada yang tertangkap), kejadian itu sungguh menggelitik dan menggugah perasaan kita semua. Ada apa dengan Indonesia, masalah komputerisasi, dan HaKi?
Selidik punya selidik, ternyata kesadaran akan HaKi di Indonesia sangat rendah. Bahkan dalam konteks riil, ternyata begitu banyak pengguna komputer di negeri ini, yang sama sekali tidak tahu menahu tentang software propietary, HaKi, dan pelanggaran-pelanggarannya. Bagi mereka, apa yang ada adalah legal dan tidak ada masalah sedikit pun. Yang sangat menggemaskan, ketidaktahuan ini pun tidak hanya ada pada masyarakat umum. Beratus-ratus intansi (atau beribu, saya tidak tahu) pemerintah, yang tidak tahu (bukan tidak sadar), mengenai apa itu sistem propietary, HaKi dan pelanggaran HaKi. Bagi mereka, sistem komputer (windows --red) yang selama in di kenal, adalah 100 % legal, dan tak ada masalah. Boro-boro tahu tentang OSS, banyak pengguna komputer Indonesia yang hanya mengerti bahwa software komputer hanya windows itulah. Selain kenyataan hebat itu, pengguna komputer yang paham dan sadar, bukan tidak bermaksud atau ingin memakai software "gratisan", tapi memang faktor ekonomi yang tidak memungkinkan. Daya beli masyarakat kita yang sangat rendah, adalah sangat tidak mungkin untuk menjangkau sistem operasi propietary legal dan resmi, dimana kita tahu, harga sebuah lisensi sistem propietary adalah setinggi langit.
Jadi, permasalahan HaKi di Indonesia adalah sangat complicated, dan mencari jalan keluar adalah tidak mudah. Jika ada yang berangan-angan untuk membasmi habis pembajakan sistem propietary, maka berani saya katakan, itu adalah angan-angan kosong dan tidak mungkin terjadi. Solusi yang mesti kita pikirkan adalah : apakah ada sistem yang bebas untuk digunakan dalam bidang tehnologi informasi, yang bisa digunakan dengan legal dan resmi, yang berguna bagi masyarakat kita? Dan jawabannya adalah ada, bahkan semenjak lebih dari 17 tahun silam. Gerakan open source dan free software foundation, yang dipelopori Richard Matthew Stallman, telah ada sejak lama, dengan sistem Gnu-nya. Selain itu, momment puncak gerakan open source, dengan lahirnya sistem operasi Linux yang ajaib (yang dibidani oleh Linus Torvalds), telah membuka kesempatan seluas-luasnya untuk pemanfaatan tehnologi informasi yang bebas guna, dan bebas bayar lisensi.
Setelah sekian lama, gerakan open source dengan Linux-nya, berkembang begitu pesat. Dengan dibangun oleh jutaan programmer di seluruh dunia dengan ikhlas dan sukarela, sistem open source mengalami perkembangan yang luar biasa. Namun, bagaimana dengan implementasinya? Terutama di Indonesia? Lambat! itu jawaban yang pasti, namun tidak perlu kita salahkan siapapun. Linux dan HaKi, bagaim keping mata uang, adalah hal yang tak terpisahkan. Di mana kita bicara HaKi dalam bidang TI, kita akan dibawa ke Linux, karena hanya Linux-lah(dengan keluargamya), sistem operasi yang bebas untuk digunakan, atau dengan kata lain, kita tak perlu khawatir untuk tersandung masalah Haki dalam penggunaannya. Lalu, bagaimana dengan nasib Indonesia? Kita tak perlu berkecil hati atau menyalahkan keadaan. Yang perlu kita lakukan sekarang, adalah bagaimana menyebarkan sistem open source, dan membiasakan penggunaan dan pemanfaatnya, walau kita tahu mengubah kebiasaan sangat sulit. Oleh karena itu, sosialisasi penggunaan OSS, seyogyanya (dan seharusnya) harus dimulai dari tingkat yang sangat mendasar. Pelajar, anak-anak dan masyarakat umum lain, harus dibiasakan untuk memanfaatkan sistem operasi open source, yang merupakan "satu-satunya" solusi bagi permasalahan TI dan HaKi di Indonesia.
Jadi? Siapkah anda (dan saya sendiri) untuk menjadi pasukan di antara barisan gerakan open source, untuk kemaslahatan dan kesejahteraan umat manusia?!
Salam Linux!
Comments